Tag: ekonomi indonesia

  • Pesawat Boeing Kembali ke AS dari China

    Pesawat Boeing Kembali ke AS dari China

    Pesawat Boeing Kembali ke AS dari China

    Pesawat Boeing Kembali dari China ke Amerika Serikat menjadi sorotan dalam dinamika industri penerbangan global. Fenomena ini bukan hanya soal logistik atau pengiriman pesawat, tetapi juga mencerminkan hubungan yang kompleks antara dua kekuatan ekonomi dunia. Boeing, sebagai produsen pesawat ternama asal AS, selama bertahun-tahun menjadikan China sebagai pasar yang sangat penting. Namun, perubahan arah kebijakan, ketegangan dagang, hingga isu keselamatan penerbangan membuat beberapa unit pesawat kembali di tarik ke tanah asalnya.

    Salah satu faktor yang mendorong kembalinya pesawat-pesawat ini adalah penundaan panjang dalam sertifikasi dan izin terbang di China. Untuk tipe pesawat tertentu, terutama seri 737 MAX. Meskipun pesawat ini sudah kembali mengudara di banyak negara, proses di China berjalan lebih lambat karena regulasi dan evaluasi tambahan. Akibatnya, sejumlah maskapai dan leasing company memilih untuk mengalihkan pesawat yang semula di jadwalkan untuk pasar China. Dan membawanya kembali ke AS untuk digunakan atau disewakan ke negara lain yang telah memberi lampu hijau.

    Situasi ini membawa dampak langsung terhadap strategi distribusi Boeing. Pesawat yang semula akan memperkuat armada Asia kini di alihkan untuk memenuhi permintaan dalam negeri AS yang sedang meningkat. Terutama setelah pemulihan industri penerbangan pasca pandemi. Selain itu, kembalinya pesawat juga berhubungan dengan pergeseran kebijakan ekspor dan peningkatan permintaan domestik. Dari maskapai-maskapai AS yang mengalami lonjakan penumpang.

    Dinamika Industri Penerbangan dan Dampaknya pada Hubungan Dagang AS–China

    Pesawat Boeing Kembali Boeing dari China ke Amerika Serikat tak hanya menggambarkan isu teknis sema. Tapi juga menjadi bagian dari dinamika industri penerbangan yang sarat dengan nuansa geopolitik dan persaingan dagang. Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan dagang antara AS dan China mengalami naik-turun. Termasuk dalam sektor teknologi dan manufaktur, di mana Boeing kerap menjadi simbol dari keunggulan industri penerbangan AS.

    China merupakan salah satu pasar terbesar untuk pesawat komersial, dan permintaan jangka panjangnya di proyeksikan tetap tinggi. Namun, dengan meningkatnya ambisi China untuk membangun dan mengembangkan pesawat buatan lokal. Seperti COMAC C919, posisi Boeing sebagai pemain asing di pasar tersebut menjadi semakin menantang. Kembalinya pesawat-pesawat ke AS juga dapat dilihat sebagai respons strategis terhadap persaingan tersebut. Di mana Boeing mungkin lebih memilih memusatkan distribusinya ke pasar yang lebih stabil secara politik dan ekonomi.

    Ketegangan Dagang yang Semakin Terasa

    Kembalinya pesawat Boeing dari China ke Amerika Serikat menambah lapisan baru dalam dinamika hubungan dagang antara kedua negara. Dalam beberapa tahun terakhir, tensi antara AS dan China tidak hanya mencakup tarif dan teknologi. Tetapi juga mencuat di sektor penerbangan sipil. China selama ini menjadi pasar besar bagi Boeing, namun kepercayaan terhadap produk AS terganggu. Pasca insiden 737 MAX dan penundaan sertifikasi dari otoritas penerbangan China

    Persaingan Industri dan Dorongan Produk Lokal
    China secara perlahan mulai mengarahkan industrinya untuk lebih mandiri, salah satunya dengan mempercepat pengembangan pesawat buatan dalam negeri seperti COMAC C919. Ini memberi tekanan besar pada Boeing, karena kehadiran produk lokal akan mengurangi ketergantungan pada impor pesawat dari AS

    Potensi Negosiasi dan Arah Baru Diplomasi Ekonomi
    Meski hubungan dagang kedua negara kerap tegang, sektor penerbangan tetap memiliki potensi untuk menjadi titik temu negosiasi. Kembalinya pesawat Boeing ke AS bisa menjadi alat tawar dalam diskusi perdagangan berikutnya. Pemerintah AS kemungkinan akan menjadikan hal ini sebagai bukti ketidakseimbangan dalam akses pasar dan akan menekan China untuk memberikan perlakuan adil kepada perusahaan-perusahaan Amerika.

    Strategi Boeing dalam Menghadapi Ketidakpastian Pasar Global

    Menghadapi ketidakpastian pasar global, Boeing harus menerapkan strategi yang fleksibel dan adaptif, khususnya dalam mengelola produksi dan distribusi pesawatnya. Kembalinya sejumlah pesawat dari China ke Amerika Serikat bukan hanya keputusan sepihak dari maskapai atau regulator, tetapi juga cerminan dari upaya Boeing untuk merespons cepat terhadap perubahan permintaan dan kondisi politik yang memengaruhi kelancaran operasional bisnis mereka.

    Dalam beberapa bulan terakhir, Boeing mulai mengalihkan fokus ke pasar-pasar yang lebih stabil secara regulasi dan memiliki proses sertifikasi yang lebih efisien. Wilayah seperti Amerika Utara, Eropa, dan sebagian negara di Asia Tenggara menjadi target utama. Strategi ini memungkinkan perusahaan untuk menjaga arus kas dan meminimalkan potensi kerugian dari pesawat-pesawat yang semula mangkrak menunggu izin operasional.

    Selain itu, Boeing juga meningkatkan investasi pada layanan purna jual dan dukungan teknis, yang kini menjadi salah satu faktor penting dalam daya saing produsen pesawat. Ketika pengiriman terganggu atau tertunda, layanan dan ketersediaan suku cadang memainkan peran besar dalam mempertahankan kepercayaan pelanggan. Langkah ini sekaligus memperkuat posisi Boeing sebagai mitra jangka panjang bagi maskapai, bukan sekadar produsen.

    Imbas Terhadap Rantai Pasok Global dan Kepercayaan Investor

    Pesawat Boeing Kembali dari China ke AS juga memberikan efek domino terhadap rantai pasok global yang selama ini sangat tergantung pada kelancaran hubungan antara kedua negara. Boeing, sebagai produsen pesawat dengan jaringan suplai internasional, memiliki banyak komponen yang diproduksi atau dirakit di luar negeri, termasuk di Asia. Ketegangan atau hambatan logistik akibat isu dagang membuat proses perakitan, pengiriman, hingga sertifikasi menjadi lebih kompleks dan berisiko.

    Tidak hanya berdampak pada jadwal pengiriman, situasi ini juga memengaruhi kepercayaan investor terhadap stabilitas operasional Boeing di pasar internasional. Ketika pesawat yang seharusnya digunakan di China harus kembali ke AS karena tertunda operasionalnya, itu berarti ada potensi kerugian atau penundaan keuntungan bagi pihak penyewa dan produsen. Investor pun mulai menilai ulang risiko geopolitik sebagai faktor penting dalam portofolio mereka, khususnya di sektor industri berat dan transportasi.

    Di sisi lain, perusahaan penyedia layanan dan suku cadang pesawat, yang biasanya mendapatkan permintaan besar dari wilayah Asia, juga ikut terdampak. Ketika armada yang direncanakan beroperasi di China tidak jadi digunakan di sana, maka suplai dan permintaan komponen, perawatan, serta logistik ikut menyesuaikan ulang. Ini menciptakan ketidakpastian baru bagi para pelaku industri pendukung.

    Kesimpulan: Titik Balik dalam Hubungan Industri dan Politik Global

    Kembalinya pesawat Boeing dari China ke Amerika Serikat bukan sekadar peristiwa teknis atau logistik biasa, melainkan mencerminkan persimpangan penting antara kepentingan bisnis, politik, dan kekuatan ekonomi global. Ini adalah gambaran nyata bagaimana industri besar seperti penerbangan sangat rentan terhadap dinamika hubungan antarnegara, terutama antara dua kekuatan dunia seperti AS dan China.

    Di satu sisi, Boeing mengambil langkah strategis untuk melindungi asetnya dan mengalihkan pesawat ke pasar yang lebih responsif terhadap kebutuhan mereka. Ini menunjukkan fleksibilitas perusahaan dalam menghadapi ketidakpastian, serta pentingnya diversifikasi pasar sebagai bentuk mitigasi risiko. Namun di sisi lain, langkah ini juga menandakan adanya jarak yang semakin melebar antara Boeing dan pasar China, yang selama ini menjadi salah satu penopang utama penjualan mereka di Asia.

  • Ekonomi Indonesia 2025: Optimisme atau Ancaman Resesi?

    Ekonomi Indonesia 2025: Optimisme atau Ancaman Resesi?

    Ekonomi Indonesia 2025: Optimisme atau Ancaman Resesi? Pertanyaan itu mengemuka di tengah di namika global yang belum sepenuhnya stabil serta tantangan domestik yang tak bisa di abaikan. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas terus mencari titik terang di balik berbagai perubahan yang terjadi. Di satu sisi, Indonesia menunjukkan geliat pemulihan pascapandemi COVID-19, tapi di sisi lain, bayang-bayang perlambatan ekonomi global dan potensi gejolak geopolitik mengintai dari kejauhan. Lalu, apakah kita patut optimis, atau justru harus bersiap menghadapi badai resesi?

    Untuk menjawabnya, kita perlu menelaah berbagai indikator ekonomi secara menyeluruh: mulai dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, daya beli masyarakat, kinerja ekspor-impor, hingga kebijakan fiskal dan moneter yang tengah di jalankan. Tidak kalah penting, faktor eksternal seperti tren suku bunga global, harga komoditas, serta iklim investasi internasional turut memberi pengaruh besar terhadap arah ekonomi Indonesia ke depan.

    Satu hal yang jelas, memasuki tahun 2025, Indonesia berada di titik persimpangan. Jalan mana yang akan di tempuh sangat bergantung pada sinergi kebijakan, adaptasi pasar, serta ketangguhan sektor riil dalam menghadapi tekanan dan peluang yang ada.

    Prospek Pertumbuhan Ekonomi: Antara Target dan Realita

    Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5,3% hingga 5,8% pada 2025. Angka ini mencerminkan optimisme terhadap potensi pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Namun, sejumlah ekonom menilai target tersebut cukup ambisius, mengingat kondisi ekonomi global yang masih belum sepenuhnya pulih.

    Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia melambat di kisaran 2,5% hingga 3%, dipicu oleh ketegangan geopolitik, pengetatan kebijakan moneter, serta transisi energi yang belum stabil. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, perlambatan global jelas berdampak langsung pada Indonesia, terutama melalui jalur ekspor, investasi, dan sentimen pasar.

    Inflasi dan Daya Beli: Stabilitas Harga Masih Jadi PR

    Tantangan berikutnya adalah pengendalian inflasi. Sepanjang 2024, Indonesia mencatat inflasi yang relatif stabil di kisaran 2,8% hingga 3,2%. Namun, tantangan inflasi pangan dan energi masih membayangi, terutama jika terjadi gangguan pasokan global atau fluktuasi harga minyak mentah.

    Inflasi yang tidak terkendali berisiko menekan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah. Apalagi jika pertumbuhan upah riil tidak sejalan dengan laju kenaikan harga kebutuhan pokok. Dalam konteks ini, pemerintah di tuntut menjaga ketersediaan bahan pokok, subsidi yang tepat sasaran, serta penguatan sektor produksi dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan impor.

    Investasi dan Lapangan Kerja: Sektor Strategis Jadi Penentu

    Salah satu pilar utama optimisme ekonomi Indonesia 2025 adalah investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Pemerintah telah menggelontorkan berbagai insentif fiskal dan nonfiskal, mempercepat reformasi birokrasi, dan menyederhanakan regulasi melalui UU Cipta Kerja.

    Sektor-sektor strategis seperti hilirisasi tambang, energi terbarukan, ekonomi di gital, serta industri kreatif di proyeksikan menjadi mesin pertumbuhan baru. Namun, tantangan tetap ada, mulai dari kepastian hukum, perizinan yang berbelit di daerah, hingga persoalan ketenagakerjaan dan infrastruktur pendukung.

    Jika iklim investasi tidak di perbaiki secara konsisten, maka potensi pertumbuhan lapangan kerja akan tertahan. Hal ini berisiko menciptakan pengangguran terselubung serta memperlebar ketimpangan sosial ekonomi di masyarakat.

    Neraca Perdagangan dan Cadangan Devisa: Masih Jadi Penopang?

    Sepanjang 2023 dan 2024, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan yang cukup konsisten, berkat harga komoditas unggulan seperti batu bara, nikel, dan kelapa sawit yang tinggi. Surplus ini menopang cadangan devisa, memperkuat nilai tukar rupiah, dan mendukung stabilitas sektor eksternal.

    Namun, pada 2025, tren ini bisa berubah. Harga komoditas global di perkirakan mulai terkoreksi, seiring normalisasi pasar dan peningkatan pasokan dari negara lain. Jika tidak di imbangi dengan di versifikasi ekspor dan penguatan industri manufaktur bernilai tambah, maka ketergantungan pada komoditas bisa menjadi titik lemah ekonomi Indonesia.

    Kebijakan Fiskal dan Moneter: Perlu Sinergi Lebih Kuat

    APBN 2025 di proyeksikan tetap ekspansif namun lebih terarah. Pemerintah menargetkan defisit anggaran di bawah 3% dari PDB sesuai amanat UU Keuangan Negara. Fokus belanja negara akan di arahkan pada pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta penguatan perlindungan sosial.

    Dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) masih akan menghadapi di lema antara menjaga stabilitas rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Kebijakan suku bunga BI Rate di prediksi akan tetap berada dalam tren tinggi jika tekanan inflasi masih kuat atau The Fed mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama.

    Koordinasi yang baik antara kebijakan fiskal dan moneter menjadi kunci. Kegagalan dalam menjaga keseimbangan ini bisa memicu ketidakstabilan makroekonomi yang berdampak luas, termasuk kepada sektor riil dan rumah tangga.

    Peran UMKM dan Di gitalisasi: Pilar Penting Pemulihan Ekonomi

    UMKM menyumbang lebih dari 60% PDB nasional dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja. Oleh karena itu, dukungan terhadap sektor ini sangat penting untuk memastikan pemulihan ekonomi inklusif. Di gitalisasi UMKM melalui ekosistem e-commerce, layanan keuangan di gital, dan pelatihan kewirausahaan menjadi langkah strategis yang harus di perluas.

    Pemerintah juga di harapkan meningkatkan akses pembiayaan bagi UMKM melalui skema KUR, fintech lending yang bertanggung jawab, serta penyediaan inkubator bisnis dan pelatihan berbasis komunitas. Jika UMKM mampu naik kelas, maka daya tahan ekonomi nasional terhadap guncangan global akan semakin kuat.

    Risiko Global: Resesi Dunia, Perang, dan Perubahan Iklim

    Ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dinamika global. Ancaman resesi di negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, atau Jepang akan berdampak pada permintaan ekspor Indonesia. Belum lagi ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah, konflik dagang antara negara besar, serta dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan dan energi.

    Indonesia harus cermat membaca arah angin dunia. Diversifikasi pasar ekspor, penguatan kerja sama regional seperti ASEAN dan RCEP, serta peningkatan ketahanan energi dan pangan nasional menjadi langkah antisipatif yang perlu diprioritaskan.

    Generasi Muda dan Bonus Demografi: Ancaman atau Peluang?

    Tahun 2025 juga merupakan puncak dari bonus demografi Indonesia, di mana proporsi penduduk usia produktif berada pada titik tertinggi. Ini adalah peluang emas untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi jika dikelola dengan baik.

    Namun, jika lapangan kerja tidak tersedia, pendidikan dan keterampilan tidak memadai, serta akses terhadap modal dan teknologi terbatas, maka bonus demografi bisa berubah menjadi bencana sosial berupa pengangguran massal, kemiskinan struktural, dan keresahan sosial.

    Pemerintah, swasta, dan dunia pendidikan harus bersinergi menciptakan ekosistem yang mendukung generasi muda menjadi agen perubahan. Pendidikan vokasi, program magang industri, dan inkubasi startup bisa menjadi solusi konkret menghadapi tantangan ini.

    Digitalisasi dan Teknologi: Kunci Inovasi Masa Depan

    Transformasi digital adalah salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi ke depan. Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang sangat besar, dengan lebih dari 210 juta pengguna internet aktif. Sektor e-commerce, fintech, edutech, hingga agritech berkembang pesat dan membuka lapangan kerja baru.

    Namun, agar potensi ini bisa dimaksimalkan, diperlukan infrastruktur digital yang merata, perlindungan data pribadi yang kuat, serta kebijakan yang mendukung inovasi tanpa membebani pelaku usaha. Literasi digital juga harus ditingkatkan agar masyarakat dapat memanfaatkan teknologi secara produktif dan aman.

    Kesimpulan: Optimisme Terukur adalah Kunci

    Ekonomi Indonesia 2025 berada di persimpangan yang menentukan. Di satu sisi, peluang untuk tumbuh lebih kuat sangat besar, terutama jika semua potensi dimaksimalkan dengan kebijakan yang tepat. Namun di sisi lain, berbagai risiko, baik dari dalam negeri maupun global, bisa menjegal langkah kita jika tidak diantisipasi dengan baik.

    Optimisme tetap penting, tapi harus dibarengi dengan kehati-hatian dan kesiapan menghadapi skenario terburuk. Resesi bukan sesuatu yang mustahil, tapi juga bukan takdir yang tak bisa dicegah. Dengan reformasi yang berkelanjutan, kolaborasi lintas sektor, serta kesadaran kolektif akan pentingnya perubahan, Indonesia punya peluang besar menjadikan 2025 sebagai tahun kemajuan, bukan kemunduran.

  • Imbas Perang Dagang Rupiah Melemah

    Imbas Perang Dagang Rupiah Melemah

    Imbas Perang Dagang – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berencana untuk mengenakan pajak tambahan atas barang-barang yang masuk ke negara tersebut dari tempat lain, termasuk Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan beberapa masalah bagi perekonomian Indonesia.

    Jika ia mengumumkan hal ini pada tanggal 2 April 2025, harga emas dapat naik dan nilai tukar mata uang Indonesia, yang disebut Rupiah, dapat melemah. Ibrahim menjelaskan bahwa ketika pajak baru Trump diterapkan, barang-barang seperti batu bara dan minyak sawit akan menjadi lebih mahal jika dijual di Amerika.

    Ini berarti bahwa pemerintah Indonesia perlu mencari tempat baru untuk menjual produk-produk tersebut. Ibrahim khawatir perdagangan Indonesia dengan AS dapat terganggu, tetapi ia juga berpikir mungkin ada beberapa hal baik yang dapat diperoleh dari kebijakan baru Trump.

    Ia merasa kecewa dengan situasi perdagangan dan yakin hal itu dapat menyebabkan lebih banyak masalah keuangan bagi negara tersebut.

    Belum jelas apakah Indonesia juga harus membayar pajak tambahan ini. Ibrahim berpendapat bahwa pemerintah harus bersiap menghadapi perubahan apa pun karena banyak negara, termasuk Indonesia, sudah menghadapi tantangan ekonomi. Ia menyebutkan, jika Indonesia memiliki terlalu banyak barang untuk dijual, pemerintah perlu bertindak cepat.

    Pakar keuangan bernama Ibrahim Assuaibi meyakini, akibat keputusan Trump, harga emas bisa naik drastis dan nilai tukar Rupiah bisa mendekati 17 ribu Rupiah untuk setiap dolar AS. Ia mencontohkan, pasar tutup hingga 7 April dan Bank Indonesia tidak turun tangan membantu sehingga nilai tukar Rupiah bisa anjlok.

    Info terbaru

    Harga emas naik lagi hari ini

    Cara Menghasilkan Uang dari HP

    Game Penghasil Dana

    Kenaikan Pajak Import Indonesia Amerika

    Singkatnya, semua negara harus membayar pajak setidaknya 10% atas impor mereka, dan negara-negara yang dianggap tidak adil harus membayar lebih banyak lagi. Menurut Kementerian Perdagangan, masalah ini diperkirakan akan semakin parah pada tahun 2024, yang membuat AS khawatir. Tahun lalu, Indonesia menjual lebih banyak barang ke AS daripada yang dibeli dari mereka, tetapi jumlahnya lebih rendah dari yang dilaporkan AS.

    Situasi ini menempatkan Indonesia di posisi ke-15 di antara negara-negara yang memiliki masalah perdagangan terbesar dengan AS. Selama lima tahun terakhir, jumlah yang dibelanjakan AS untuk barang-barang Indonesia telah meningkat hampir setengahnya. AS adalah pembeli besar pakaian, sepatu, dan minyak sawit Indonesia, yang merupakan produk penting bagi Indonesia. Indonesia menghadapi tantangan baru karena perselisihan perdagangan dengan Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Presiden Donald Trump.

    Ini berarti bahwa Indonesia harus membayar pajak tambahan, yang disebut tarif, atas barang-barang yang dijualnya ke AS—hingga 32% lebih banyak karena AS membeli lebih banyak dari Indonesia daripada yang dijualnya kepada mereka. Presiden Trump mengumumkan tarif baru yang lebih tinggi dari sebelumnya untuk banyak negara, termasuk Indonesia.

    AS mengenakan pajak dasar sebesar 10% pada semua impor, ditambah pajak tambahan untuk negara-negara yang dianggap tidak berlaku adil dalam perdagangan. Misalnya, jika negara seperti China mengenakan pajak tinggi pada barang-barang AS, AS akan menanggapinya dengan pajak yang lebih tinggi lagi pada produk mereka.

    Rupiah Makin Melemah pada Tahun 2025

    Salah satu penyebab rupiah melemah adalah komentar Presiden AS Donald Trump tentang tarif perdagangan atas produk Indonesia. Akibatnya, Indonesia akan menghadapi tarif hingga 32%, yang akan membuat orang-orang di AS lebih mahal untuk membeli barang-barang Indonesia.

    Hal ini dapat menyebabkan lebih sedikit produk Indonesia yang dijual di AS, karena orang-orang mungkin memilih untuk membeli produk Amerika. Jika situasi ini terus terjadi, akan semakin sedikit dolar AS yang tersedia di garuda888, yang dapat menyebabkan nilai rupiah terus turun.

    Sebelum libur Idulfitri, pada 27 Maret 2025, rupiah dinilai sebesar Rp16.555 untuk setiap dolar AS, yang berarti menguat sedikit sebesar 0,12%. Nilai rupiah Indonesia terhadap dolar AS telah turun menjadi Rp16.700 untuk setiap dolar AS dalam jenis perdagangan mata uang khusus yang disebut non-deliverable forward (NDF).

    Menurut laporan Refinitiv, pada 3 April 2025, nilai tukar mencapai Rp16.754 per dolar AS, yang merupakan nilai tukar terendah dalam 27 tahun terakhir. NDF adalah cara untuk membeli dan menjual mata uang pada harga yang ditetapkan untuk tanggal yang akan datang, tetapi tidak tersedia di Indonesia; Anda dapat menemukannya di kota-kota keuangan besar seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London. NDF dapat memengaruhi penetapan harga di pasar mata uang reguler, sehingga nilai tukar dalam NDF dapat memengaruhi nilai tukar yang berlaku di Indonesia.